Penduduk, Masyarakat, dan Kebudayaan
Berbagai Tradisi Di Indonesia Seputar Puasa dan Lebaran
Di Daerah Lampung
Salah satu tradisi yang cukup terkenal dari Lampung dalam menyambut Ramadhan adalah Pelangekhan. Palangekhan adalah menyucikan diri dengan cara mandi.
Menurut direktur Jung Foundation, organisasi yang fokus di bidang pelestarian budaya Lampung, Christian Heru, pelangekhan asal katanya adalah belangekh yang maknanya mandi untuk menyucikan diri. Umumnya, tradisi ini berlangsung jelang Ramadan. Intinya agar umat muslim lebih siap menjalankan ibadah di bulan puasa.
Heru mengungkapkan, umat muslim di Lampung biasanya melaksanakan tradisi ini secara massal di lokasi-lokasi pemandian. Misalnya di sungai, laut, sumur yang terjaga kesucian airnya, hingga merambah ke kolam renang.
Alat-alat untuk mandi mengalami perubahan dari masa ke masa. Dahulu, tradisi ini memerlukan bahan mandi seperti merang atau buah limau agar orang-orang yang melakukan tradisi tersebut benar-benar bersih secara fisik. Tapi kini, lebih banyak menggunakan alat mandi modern seperti sabun dan lain2 karena merang dan limau sudah mulai sulit didapat.
Palangekhan selain dilakukan secara bersama-sama dengan mandi di sungai, juga dilakukan secara sendiri-sendiri. Tujuan melakukan Palangekhan adalah membuang sial. Hal tersebut dipercaya secara turun temurun.
“Ada juga yang melakukan pelangekhan supaya segera mendapat jodoh. Tapi inti filosofinya, tetap penyucian diri. Bahkan secara adat, setiap orang yang akan melakukan ritual ini harus memakai pakaian adat Lampung,” ujar Heru.
Selain tradisi pelangekhan, tradisi lainnya yang mewarnai bulan Ramadhan di masyarakat Lampung adalah Pitu Likur. Masyarakat Lampung banyak yang memasang obor di depan rumah pada malam Ramadhan ke 27.
Pitu Likur adalah kosa kata bahasa Jawa yang berarti bilangan ke 27, tetapi tradisi itu asli berasal dari Lampung.
“Tradisi malam Pitu Likur terus dilakukan masyarakat Lampung, khususnya Lampung Barat menjelang Idul Fitri. Masyarakat meyakini tradisi tersebut dapat menghormati arwah leluhur,” kata salah seorang warga Pekon (Desa) Canggu, Kecamatan Batu Brak, Lampung Barat.
Dia menjelaskan, tradisi malam Pitu Likur adalah simbol penghormatan dan kemeriahan menyambut Idul Fitri.
“Budaya turun-temurun ini dilakukan guna menghormati arwah leluhur. Dimana diyakini bahwa arwah leluhur pada saat menjelang Idul Fitri akan bertandang pulang ke rumah keluarganya masing-masing dan obor yang digunakan (dipasang) di depan rumah sebagai sumber cahaya agar leluhur dapat mengenali kediamannya,” katanya.
Kemudian, lanjutnya, tradisi ini menjadi kewajiban masyarakat Lampung Barat. “Setiap tahun kami tidak ketinggalan menggelar prosesi malam Pitu Likur, bahkan akan terkesan kurang bila tradisi ini tidak dilakukan, sehingga tradisi nenek moyang ini terus abadi sepanjang masa.”
Tradisi itu dilaksanakan dengan menggunakan batok kelapa yang disusun memanjang dengan ketinggian satu meter lebih. Batok tersebut pada malam seusai berbuka puasa akan dinyalakan seiring dengan dilantunkan doa-doa yang dipanjatkan untuk mengirim arwah leluhur mereka.
Tidak hanya batok kelapa yang digunakan, belasan obor juga ikut meramaikan malam Pitu Likur di daerah ini sehingga terlihat jalur lintas barat yang berada di permukiman warga terang dengan cahaya bakaran tempurung kelapa dan obor tersebut.
Kebiasaan masyarakat ini menjadi salah satu upaya pelestarian tradisi menjelang Idul Fitri sehingga tradisi leluhur akan dapat lestari. Dulu, saat memasuki bulan ramadhan, masyarakat Lampung memiliki kebiasaan membuat obor untuk diletakan di depan rumah masing-masing. Namun, kini kebiasaan tersebut mulai menghilang karena banyak dari mereka yang sekarang lebih suka menggunakan lampu. Satu kebiasaan yang hingga kini masih terus berlangsung adalah tradisi mengirimkan makanan dan minuman ke mesjid. Masing-masing warga akan mendapat giliran untuk membuat santapan berbuka puasa. Makanan dan minuman tersebut akan diletakkan di atas nampan yang tertutup tudung saji. Ketika bedug buka puasa tiba, sajian ini akan di santap bersama-sama.
Masyarakat Lampung khususnya yang ada di Kabupaten Pesawaran juga memiliki menu masakan khas untuk berbuka puasa, yaitu kincah duren. Menu berbuka ini mirip dengan kolak dengan menggunakan kuah duren dan biasa disantap dengan ketan.
Di Daerah Banten
Sejak hari pertama puasa Ramadhan, di seluruh kawasan Kota Serang, terutama kawasan Pasar Lama dan Islamic Center, muncul beberapa warung dadakan. Warung-warung itu menjual makanan khas berbuka puasa. Salah satunya adalah ketan bintul yang notabene merupakan hidangan khas warga Banten dan hanya ada (dijual) pada bulan Ramadhan. Para pedagang dadakan ini menggelar tenda. Jumlah warung-warung itu mencapai ratusan tenda. Setiap tenda, selain menyiapkan ketan bintul juga menyediakan beragam menu berbuka puasa lainnya. Namun dari sekian banyak menu berbuka puasa yang ada, yang paling dicari masyarakat adalah hidangan ketan bintul. Dinamakan ketan bintul karena makanan khas itu memang berbahan baku nasi ketan yang sudah dihaluskan. Agar mudah memakannya, nasi ketan itu dibuat dalam porsi khusus berukuran sekitar 5×5 cm dengan ketebalan sekitar 2 hingga 3 cm. Tampilannya pun menarik karena warnanya putih bersih. Jika kamu ingin menikmatinya satu porsi, cukup membayar Rp 10.000 sudah memperoleh enam kerat ketan putih ditambah sepotong daging sapi berikut gulainya yang telah dibubuhi serundeng dan bawang goreng. Aroma gulai daging sapi itu cukup semerbak sehingga membuat kita ingin cepat-cepat menyicipinya. Tak aneh jika menjelang waktu berbuka, banyak warga yang mendatangi tenda-tenda penjual ketan bintul itu besar. Menurut seorang tokoh masyarakat Banten, tradisi makan ketan bintul ini sebenarnya sudah berlangsung sejak 15 abad yang lalu. Suatu kebiasaan yang sangat sulit untuk dilupakan, karena kebiasaan ini hadir bukan hanya sebagai santapan pembuka di bulan Ramadhan saja, tapi sudah menjadi makanan keseharian bagi masyarakat Banten dari berbagai macam kalangan. Konon ketan bintul merupakan makanan kesukaan raja-raja Banten juga.
Cara membuat hidangan khas Banten sebenarnya tidak sulit. Mula-mula kita menanak ketan sampai matang. Ketan yang sudah matang tersebut kemudian ditumbuk halus masih dalam keadaan panas dengan sebuah alu kayu yang ujungnya diberi pelapis dari plastik atau alat penumbuk lainnya yang bersih dan tidak mudah luntur. Menumbuknya pun harus dengan tenaga yang besar, disini perlu diperhatikan beras yang sudah menjadi ketan tersebut jangan sampai kehilangan panasnya, agar pada saat menumbuk cepat halus dan empuk. Dibutuhkan kecepatan dan kecermatan dalam melakukan penumbukan. Sambil membolak-balik penumbukan harus terus dilakukan, tidak boleh ada istirahat, karena panas yang dikandung pada ketan akan cepat menguap dan lekas menjadi dingin, bila ini yang terjadi ketan akan sangat keras sehingga akan sulit didapatkan hasil yang bagus dan sempurna, kemungkinan juga hasilnya akan gagal. Untuk itu pekerjaan semacam ini harus dilakukan minimal dua orang, dengan membagi tugas saling bergantian, satu menumbuk dengan alat penumbuk berupa alu kayu yang ada bebannya, yang satu lagi membolak-balikan sehingga tercipta satu kerjasama yang baik.
Ngadongkapkeun
Ngadongkapkeun adalah wujud syukur ala warga desa Cisungsang, kab. lebak, Banten.
“…nyanggakeun sari pangabaktina, hayang kasari, kabukti, kateda, agungna ka nu kawasa…”
rumah adat cisungsang
Kalimat di atas adalah penggalan doa yang diucapkan warga di kesat, Banten Kidul, kaolotan Cisungsang, kec. Lebak, Banten, saat menggelar tradisingadongkapkeun (mendatangkan). Doa itu isinya antara lain tentang penyerahan diri kepada Yang Kuasa, agar penghambaan mereka diterima.
Tradisi ngadongkapkeun merupakan perpaduan adat lokal dengan ajaran islam. Intinya, bentuk rasa syukur warga kepada Allah SWT dan penghormatan pada leluhur yang telah berjasa sehingga anak cucunya bisa hidup bahagia. “Tradisi ngadongkapkeun dilakukan di saat ada rezeki berlebih, berlangsung pada hari pertama bulan puasa, hari terakhir puasa, setelah salat idul fitri, sehabis ziarah kubur, pada bulan purnama dan maghrib. Ngadongkapkeun bisa dipimpin langsung para pemimpin adat seperti olot atau kokolot lembur (tetua kampung), kata Agus Suhendra, kokolot Lembur Gede, Kaolotan Cisungsang.
Pada perayaan idul fitri tahun lalu, tradisi ngadongkapkeun tak dilewatkan oleh masyarakat di kaki gunung Halimun ini. Di Cisungsang, ada empat kokolot lembur, yaitu Lembur Gede, Babakan, Tonggoh dan Lebak.
Dengan berpakaian khas Banten Kidul, yakni berwarna hitam serta penutup kepala, kokolot lembur langsung memanjatkan doa kepada Allah SWT. Sehabis berdoa, masyarakat pun sungkem pada olot atau kokolot lembur.
Serangkaian doa dalam tradisi ngadongkapkeun dimulai dengan bacaan basmallah, doa bakar kemenyan, doa selamat, dan diakhiri dengan kalimat “Laa haula walaaquwwata illaa billah (tidak ada daya dan upaya selain pada Allah SWT). Selain dilakukan secara massal, ngadongkapkeun juga bisa dilakukan secara pribadi.
Ritual yang lebih personal ini terlihat pada sehari sebelum idul fitri, setelah buka puasa terakhir, tradisi ngadongkapkeun biasanya dilaksanakan di tiap-tiap rumah warga secara masing-masing. Ritual doa biasanya dipimpin oleh kepala keluarga.
“”Di kala kita memiliki rezeki berlebih sudah sewajarnya mengingat dan mengucapkan terima kasih pada para leluhur yang telah mendahului, jadi wajar setelah satu bulan berpuasa dan merayakan kemenangan, kita mengingat leluhur dengan mengadakan tradisi ngadongkapkeun.” ujar Agus.
Dalam ritual tersebut, sejumlah sesajian disediakan. Biasanya terdiri dari makanan kecil, air putih, kopi dan sebagainya. Jumlahnya harus ganjil; tiga, lima atau tujuh rupa. Ritual dipimpin oleh tetua adat yang berpakaian khas Banten Kidul, berwarna hitam-hitam. Menurut Agus, antara ritual agama Islam dan tradisi lokal bisa hidup berdampingan di Cisungsang. “Walau bagaimana, kami menyadari tradisi itu bukan agama.” Sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, menurut Agus, tradisi tidak harus ditinggalkan. Sebagai contoh, tradisi ngadongkapkeun tidak bertentangan dengan Islam karena merupakan wujud rasa syukur kapada Allah SWT dan leluhur.
Bukti berjalan sejajarnya tradisi dan agama itu bisa dilihat ketika masyarakat sangat antusias dalam melaksanakan takbiran dan salat idul fitri. Dua mesjid di Cisungsang, Baiturrahman dan Cisungsang, ramai dijadikan ajang takbiran dan salat Ied.
Para pemuda pun ramai-ramai keliling kampung sambil menabuh beduk. Keberadaan beduk bisa dikatakan suatu ‘kewajiban’ bagi masjid atau mushola di Cisungsang. Di sana, beduk menandakan banyak rakaat yang dilakukan. Misal, saat salat Ashar, maka beduk ditabuh sebanyak empat kali. Begitu seterusnya.
Di Daerah Betawi
Tradisi yang khas yang terdapat pada masyarakat Betawi dalam menyambut bulan ramadhan adalah tradisi nyorog.
Tradisi nyorog adalah tradisi membagi-bagikan bingkisan makanan kepada anggota keluarga yang lebih tua, seperti Bapak/Ibu, Mertua, Paman, Kakek/Nenek. Meski istilah “Nyorog”nya sudah mulai menghilang, namun kebiasan mengirim bingkisan sampai sekarang masih ada di dalam masyarakat Betawi. Bingkisan tersebut biasanya berisi bahan makanan mentah, ada juga yang berisi daging kerbau, ikan bandeng, kopi, susu, gula, sirup, dan lainnya.
Tradisi “Nyorog” di masyarakat Betawi memiliki makna sebagai tanda saling mengingatkan, bahwa bulan suci Ramadhan akan segera datang, selain itu tradisi “Nyorog” juga sebagai pengikat tali silahturahmi sesama sanak keluarga.
Tradisi membersihkan diri
Pada masa lalu, pada sore hari, di getek-getek di tepi sungai-sungai terlihat para ibu, khususnya gadis-gadis tengah keramas dengan menggunakan merang (kulit gabah yang dibakar yang dicampur dengan buah rek-rek; yakni buah berbusa yang biasa digunakan untuk menyepuh perhiasan emas dan perak agar mengkilat kembali). Dengan berkemben kain batik mereka mandi dan menyiram seluruh tubuh. Kini, keramasnya menggunakan shampo, dan pastinya mandinya tidak di sungai lagi secara air sungainya dah pada item hehe…
Di samping merang, untuk keperluan keramas ada kalanya digunakan lidah buaya. Sedang untuk memperindah dan mencegah kerontokan rambut digunakan minyak kemiri. Baunya harum dan dipakai juga oleh pria. Minyak kemiri yang terkenal kala itu cap Dua Anak, keluaran Thio Tek Tjoe, seorang sinshe yang buka praktek di depan bioskop Kramat (Grand). Sampai awal 1950-an, sinshe ini tiap hari didatangi ratusan pasien, terutama anak-anak untuk berobat. Maklum kala itu dokter belum banyak.
Mandi dan keramas punya motif pembersihan lahir dan batin dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Begitu telitinya mereka keramas hingga di gosok-gosokkan ke ubun-ubun supaya air meresap sampai ke pori-pori.
sungai ciliwung pada masa hindia belanda
Tradisi lain dalam menyambut Ramadhan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Betawi adalah tradisi ziarah kubur. Masyarakat Betawi (menurut salah satu tokohnya), tidak mengenal apa yang disebut nyekar. Yang dikenal hanya ziarah kubur. Kala itu, yang berziarah khusus kaum pria. Wanita dilarang karena khawatir ada diantara mereka yang mendapat haid. Ziarah kubur dilakukan sebagai penghormatan dan mendoakan arawah orang tua dan kerabat. Banyak yang membaca surat Yasin atau membaca tahlil, sambil membersihkan makam kerabat.
Kesucian bulan Ramadhan umumnya juga disambut gembira oleh masyarakat betawi yang kala itu masih banyak mendominasi wilayah Jakarta (tidak seperti sekarang yang banyak tergusur ke daerah pesisian secara rumah mereka udah dijadiin jalan). Di depan tiap-tiap rumah biasanya dipasang lampu minyak tanah sehingga menjadi terang benderang dan hal itu dilakukan dari maghrib sampai subuh selama Ramadhan. Dan akan lebih meriah lagi saat malam takbiran.
Ø Tradisi Lebaran Masyarakat Betawi
Dua istilah asli Indonesia yang menjadi tradisi dan selalu muncul di Idul Fitri adalah Lebaran dan Halal BilHalal. Konon, lebaran berasal dari bahasa Jawa dengan akar kata bar yang berarti selesai. Sehingga lebaran dapat diartikan hari selesainya puasa di bulan Ramadhan. Lebaran di ibukota berbeda dengan lebaran di daerah lain. Perbedaan ini dapat ditemui di jalan-jalan setelah pelaksanaan sholat Idul Fitri tiap tahunnya. Jalan-jalan lenggang dari padatnya kendaraan. Bis-bis kota yang berlalu lalang tidak lagi dipenuhi oleh pelajar, karyawan dan pekerja, tetapi oleh para penumpang yang berpakaian baru dari berbagai usia. Sebagian mereka pergi ke tempat-tempat rekreasi, namun sebagian lagi pergi berkunjung ke sanak saudara yang tersebar di wilayah Jakarta maupun di pinggiran Jakarta: Bekasi, Depok, Tangerang untuk lebaran. Sebuah tradisi saling berkunjung setelah sholat Idul Fitri untuk salam-salaman sambil mengucapkan maaf, minal `aaidin wal faaziin, bertegur sapa, menikmati makanan ringan dan minuman yang disediakan si empunya rumah.
Di Setu Babakan, Jakarta Selatan, masyarakat Betawi mempunyai tradisi membawa rantang yang berisi ketupat sayur beserta tape uli jika ingin bertamu, khususnya kepada saudara, kerabat, atau orang yang dituakan. Dulu, orang Betawi berkunjung ke rumah sanak saudaranya untuk lebaranan hanya dengan jalan kaki karena memang masih dalam satu kampung atau hanya satu kali naik kendaraan karena masih dalam satu daerah. Kini, setelah banyak penggusuran untuk kepentingan pembangunan fisik ibukota atau memang sengaja dijual sehingga sanak saudara pindah ke penggiran kota atau ke wilayah lain yang jaraknya jauh, bisa dua tiga atau empat kali ganti kendaraan. Sebagian mereka asli Betawi tujuh turunan, namun sebagian lagi memang sudah tidak punya kampung lagi. Golongan terakhir ini berasal dari penjuru nusantara yang tidak memiliki tempat tinggal lagi di tanah asalnya. Habib Sechan Shahab, habib dan tokoh Betawi, bahkan menyebut mereka sebagai orang Betawi. Menurutnya, siapapun Muslim yang saban tahun lebaran di Jakarta dan tidak pulang kampung adalah orang Betawi, apapun asal suku dan etnisnya. Bagi orang Betawi, bulan Syawal adalah bulan lebaran. Jadi, bisa dikatakan lebarannya orang Betawi itu satu bulan lamanya. Umumnya, selama bulan Syawal para kyai dan ustadz Betawi belum membuka pengajian. Mereka membuka pintu untuk tetangga, kerabat, dan murid-murid yang datang untuk lebaran. Sama seperti orang Betawi lainnya, makan ringan yang disusun bertoples-toples untuk hindangan para tamu, tidak jauh dari dodol, wajik, nastar, lapis, tape uli, dan lain-lain.Jakarta telah menjadi kampung yang besar, dan tradisi halal bilhalal tetap bertahan untuk mempererat silaturahim dan persaudaraan.
Ø Pengaruh Tionghoa dalam Tradisi lebaran Masyarakat Betawi
LIM Harjanto, pengamat budaya Tionghoa menyebutkan, menarik untuk dicermati, bagaimana seni budaya dan adat istiadat Tionghoa terlihat dalam makanan, busana, bahasa, dan adat istiadat orang Betawi. Teristimewa dalam ritual Lebaran, ada banyak tradisi Tionghoayang dipakai dalam ritual menyambut hari kemenangan itu.
“Rentetan petasan sudah menjadi hal wajib dalam tradisi kemeriahan orang Betawi. Baik dalam ritual pernikahan secara adat, maupun menjelang Lebaran,” katanya. Bahkan, hingga pertengahan dekade 1900an, di kampung-kampung orang Betawi, suara petasan membuat nuansa Lebaran kian semarak.
Peribahasanya, kurang afdol, jika tidak memasang petasan pada saat Lebaran. “Bahkan, dalam sebuah buku sejarah orang Betawi disebutkan, bahwa para bangsawan Betawi bisa memasang hingga enam renceng petasan,” jelas Lim lagi.
Selain ritual membunyikan petasan, kuliner menyambut Lebaran orang Betawi juga dipengaruhi oleh budaya Tionghoa. Yaitu, penggunaan kecap untuk membuat semur daging kerbau (orang Betawi umumnya menyebut semur Kebo).
Kalau melihat ke belakang, katanya, salah satu kecap yang pernah sangat dikenal dan dipakai oleh orang Betawi, adalah Kecap Benteng. Dimana, kata Lim. kecap itu dibuat oleh orang Tionghoa (China) Benieng di Tangerang.
Tidak hanya itu, penggunaan kue satu yang terbuat dari sagu juga menjadi salah satu imbas budaya Tiong-hoa dalam kebudayaan Betawi. “Kue satu itu, masih digunakan sebagai salah satu seserahan (sang-jitan) dalam keluarga Tionghoa tradisional. Maka itu, kue satu yang dimakan pada saat Lebaran adalah cerminan dari budaya Tionghoa.”
Belum lagi, keberadaan manisan dan dodol dalam tradisi Lebaran orang Betawi. Manisan, biasanya terdiri dari unsur buah-buahan. Seperti pepaya, kolang-kaling. dan ceremai. “Manisan itu, hanya dibuat pada saat Lebaran,” tambahnya.
Tradisi saling memberi dodol, juga menjadi salah satu kuliner yang dipengaruhi tradisi Tionghoa. Orang Betawi menyebutnya dodol cina. “Jika dicermati, dodol juga menjadi penganan khas bagi masyarakat Tionghoa dalam menyambut tahun baru Imlek (sin chia),” katanya.
Di Daerah Sunda
Tradisi Munggahan
Munggahan itu berasal dari kata ‘unggah’, dalam kamus kecil bahasa Sunda, Unggah artinya kecap pagawean nincak ti han-dap ka nu leuwih luhur, naek ka tempat nu leuwih luhur (Danadibrata, 2006:727) terjemahan bebasnyah: kata kerja; beranjak dari tempat rendah ke tempat yang lebih tinggi.
Karena dalam bahasa Sunda setiap kata kerja yang sedang dilakukan itu diberi akhiran -an, maka jadilah Munggahan, artinya melakukan unggah.
Karena arti kata kerja ‘munggahan’ adalah beranjak dari tempat rendah ke tempat yang lebih tinggi, maka orang Sunda lebih memaknai munggahan ini sebagai proses penyambutan diri menjelang bulan Ramadhan, dimana diharapkan secara rohaniah selama masa bulan Ramadhan yang suci, iman dan taqwa kita semakin meningkat dari bulan-bulan sebelumnya.
Tradisi Munggahan ini turun menurun dilakukan oleh masyarakat Sunda sehari menjelang bulan Ramadhan. Biasanya dilakukan dengan cara mengundang keluarga, tetangga atau kerabat dekat lainnya untuk makan bersama (di siang hari), sambil melakukan pengajian dan mendengarkan ceramah seputar Ramadhan. Agar bisa berkumpul pada acara munggahan, tak jarang keluarga yang jauh menyempatkan diri untuk datang berkumpul. Dan karena sifatnya makan-makan, pastinya, tiap-tiap keluarga sibuk memasak masakan istimewa untuk dihidangkan. Dan hal ini masih terus berlangsung hingga kini walau banyak juga beberapa di antara keluarga sunda yang sudah tidak menjalankan tradisi ini. Khusus untuk keluargaku, mommy aku masih melakukannya. Biasanya mom bikin nasi tumpeng (nasi kuning) beserta lauk pauknya. Lalu kita berkumpul untuk makan bersama dilanjutkan saling mohon maaf (lahir bathin) agar puasa bisa berjalan dengan baik. Jika semisalnya ada keluarga yang tidak bisa datang, biasanya diusahakan untuk dikirimi makanan. Dan pada sore harinya biasanya dilakukan acara ziarah ke makam para leluhur.
Tradisi Papajar Masyarakat Cianjur
Di Cianjur, tradisi seputar Ramadhan yang terkenal adalah tradisi Papajar. Papajar biasa dilakukan sebagian para ulama Cianjur dimana para ulama dari berbagai pelosok Cianjur pada akhir bulan Syakban datang ke Masjid Agung untuk mengetahui kapan puasa Ramadan dimulai. Informasi tentang awal puasa ini nantinya disampaikan kepada umat di daerahnya.
Para ulama itu bermalam dan makan bersama di sana sambil menunggu pengumuman awal puasa dari Imam Besar Kaum. Tampaknya dari kegiatan itulah dikenal sebutan papajar sekarang ini. Konon papajar ini singkatan dari Mapag Fajar, fajar awal Ramadhan, waktu dimulainya puasa. Mapag, dalam bahasa Sunda berarti menyambut atau menyongsong.
Setelah diumumkan kapan puasa dimulai, para ulama itu menginformasikannya kepada umat di daerahnya masing-masing. Kaum Muslimin tidak berani berpuasa kalau belum ada pengumuman resmi dari Kaum, walau pada waktu itu untuk memperoleh informasi tentang awal puasa tidak semudah sekarang.
papajar at Cibodas
Dalam konteks selanjutnya, tradisi Papajar berkembang lebih luas yaitu adanya acara makan bersama keluarga atau piknik untuk acara makan-makan. Sebenarnya tradisi makan-makan ini tidak berbeda jauh dengan munggahan hanya saja masyarakat cianjur, menyiapkan acara makan-makan tersebut jauh-jauh hari, bisa hingga seminggu sebelum puasa.
Mereka pun biasanya menyempatkan untuk pergi ke tempat wisata yang tidak begitu jauh dari rumah mereka. Tempat wisata yang dituju biasanya tempat yang bisa secara bebas dilakukan acara makan-makan bersama di tempat terbuka, misal daerah sekitar Bendungan Cirata, seperti Jangari atau Calincing. Kalau di luar Cianjur biasanya yang dituju adalah Waduk Saguling di Kabupaten Bandung Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Juga ke Pelabuhan Ratu.
Mereka umumnya membawa berbagai makanan dan lauk pauk yang beragam, kemudian saling berbagi untuk menikmatinya. Dan biasanya makanan yang mereka nikmati bukan makanan yang mahal-mahal.
Selain papajar, di Cianjur juga ada yang disebut Uang Munggah. Para pegawai atau karyawan memperolah sejumlah uang dari tempat kerjanya. Munggah berarti memulai berpuasa tanggal 1 Ramadhan. Uang munggah itu jumlahnya tidak seberapa, hanya sekedar cukup untuk santap sahur dan berbuka pada hari pertama yang biasanya apa yang disajikan berbeda dengan hari-hari puasa lainnya.
Di Daerah Jawa
Wah.. kalo bicara masyarakat Jawa, juaranya tradisi… hehe… secara banyak sekali tradisi masyarakat Jawa seputar puasa dan lebaran ini yang pastinya sangat menarik untuk kita ketahui. Beberapa diantaranya:
Dugderan
Dugderan adalah suatu kegiatan pasar malam masyarakat Semarang, yang dilakukan seminggu sebelum Ramadhan. Tradisi ini sudah dimulai sejak 1881. Pada awal mula tradisi ini ada, bedug dan meriam dibunyikan untuk menyambut dimulainya pasar malam. Itulah kenapa disebut sebagai dugderan, yang berasal dari kata ‘dug’ yang berarti ‘bedug’ dan ‘der’ yang diartikan sebagai suara meriam.
Sejarah Dugder
Sudah sejak lama umat islam berbeda pendapat dalam menentukan dimulainya bulan Ramadhan, masing-masing pihak biasanya ingin mempertahankan kebenarannya sendiri-sendiri, hal tersebut sering menimbulkan beberapa penentuan dimulainya puasa ini mendapat perhatian yang berwajib. Hal itu terjadi pada masa pemerintahan Kanjeng Bupari RMTA Purbaningrat (1881). Beliaulah yang pertama kai menentukan mulainya hari puasa, yaitu setelah Bedug Masjid Agung dan Meriam di halaman Kabupaten dibunyikan masing-masing tiga kali. Namun sebelum bedug dan meriam dibunyikan, diadakan upacara di halaman Kabupaten.
Adanya upacara Dug Der tersebut makin lama makin menarik perhatian masyarakat Semarang dan sekitarnya, menyebabkan datangnya para pedagang dari berbagai daerah yang menjual bermacam-macam makanan, minuman dan mainan anak-anak seperti yang terbuat dari tanah liat (Celengan, Gerabah), mainan dari bambu (Seruling, Gangsingan), dan mainan dari kertas (Warak Ngendog).
Jalannya upacara dugderan
Sebelum pelaksanaan dibunyikan bedug dan meriam di Kabupaten, telah dipersiapkan berbagai perlengkapan berupa:
1. Bendera
2. Karangan bunga untuk dikalungkan pada 2 (dua) pucuk meriam yang akan dibunyikan.
3. Mesiu dan kertas koran yang merupakan perlengkapan meriam.
4. Gamelan yang disiapkan di pendopo
Petugas yang harus siap agar prosesi upacara berjalan baik adalah:
1. Pembawa Acara
2. Petugas yang membunyikan bedug dan meriam
3. Pengrawit
4. Pemimpin upacara (biasanya lurah/kepala desa setempat).
Upacarapun dilaksanakan sehari sebelum bulan puasa, tepat pukul 15.30 WIB. Ki Lurah sebagai pemimpin upacara berpidato menetapkan hari dimulainya puasa dilanjutkan berdoa untuk mohon keselamatan. Kemudian bedug di masjid dibunyikan tiga kali, setelah itu gamelan Kabupaten dibunyikan dengan irama mogang.
Perlon Unggahan
Masyarakat Banyumas, Jawa Tengah juga punya cara unik dalam menyambut Ramadhan, namanya adalah tradisi Perlon Unggahan. Seremoni menyambut bulan puasa ini adalah sebuah acara makan besar yang dilakukan warga setempat. Bermacam makanan disediakan, dan yang tak boleh ditinggalkan adalah nasi bungkus, serundeng sapi, dan sayur becek. Anehnya, dalam tradisi Perlon Unggahan ini serundeng sapi dan sayur becek yang disajikan harus disiapkan oleh kaum lelaki yang berjumlah 12 orang. Unik bukan?
Masih tradisi masyarakat Banyumas, tradisi lainnya yang cukup unik juga adalah tradisi yang bernama Pisowanan. Pisowanan bisa diartikan dengan ungkapan ‘menghadap sesepuh”. Ritual dari tradisi Pisowanan ini adalah berziarah ke makam tokoh besar/agama di Banyumas. Selain berziarah ke makam, sejumlah panganan juga disediakan yang kemudian dibagi-bagikan kepada peserta ziarah. Tradisi Pisowanan ini konon sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu, dan tujuannya adalah untuk mempererat tali silaturahmi warga Banyumas di saat menjelang Ramadhan.
Hal tersebut terlihat seperti yang dilakukan masyarakat warga Desa Karanggude, Karanglewas, dan Tamansari, Kecamatan Karanglewas serta Desa Langgongsari, Kecamatan Cilongok, dimana mereka mendatangi makam yang berada di kompleks Kabonan sambil membawa nasi, lauk pauk, dan makanan kecil lainnya. Makanan tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam “ancak” (tempat makanan) yang terbuat dari kulit pohon pisang.
Beberapa pria dewasa menyembelih tujuh ekor kambing untuk dimasak menjadi gulai, untuk selanjutnya dibagi-bagikan bersama makanan dalam “ancak” kepada masyarakat yang hadir.
Sebelum makanan dan gulai tersebut dinikmati warga yang duduk rapi di atas tikar, mereka menggelar doa bersama yang dipimpin Kiai Sumiharjo (71).
Meskipun telah menggelar doa bersama, warga tidak serta merta menikmati makanan yang telah dihidangkan. Mereka harus “pisowanan” terlebih dahulu kepada juru kunci makam, Kiai Yaskinu (83). ”Pisowanan” ditujukan untuk meminta berkah dan keselamatan menjelang bulan Ramadan. Setelah itu warga segera menikmati makanan dan lauk-pauk dalam “ancak”. Acara ini rutin dilaksanakan menjelang Ramadhan sebagai bagian dari penyucian diri dan meminta berkah keselamatan. Tradisi ini juga sebagai upaya tali silaturahmi antarwarga.
Nyadran
Kalau tradisi yang satu ini diadakan oleh warga Boyolali, Jawa Tengah – ada juga daerah lain (Jateng-Jatim) yang punya tradisi ini. Singkatnya, tradisi Nyadran ini adalah ziarah kubur yang dilakukan bersama-sama oleh warga Boyolali. Tradisi Nyadran yang biasa dilakukan menjelang Ramdhan, atau tepatnya pada tanggal 16 Sya’ban, juga diramaikan dengan kebiasaan membawa jajanan pasar dan buah-buahan ke makam, tapi jangan salah, bawaan makanan itu nantinya akan dibagi-bagikan kepada masyarakat yang ikut Nyadran.
Nyadran atau sadranan berasal dari bahasa Jawa yang artinya berziarah. Pada mulanya nyadran dilakukan ke makam tokoh masyarakat yang sangat dihormati maupun nenek moyang keturunannya. Namun kini, beberapa masyarakat hanya berziarah ke makam famili atau sanak saudaranya.
Nyadran biasanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu seperti menjelang bulan Ramadan yaitu bulan Syaban atau Ruwah. Nyadran sendiri merupakan simbol hubungan antara manusia yang masih hidup dengan yang sudah mati dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Hakikatnya Nyadran adalah mendoakan arwah agar Tuhan memberikan berkah kepada kita, mikul dhuwur mendhem jero (menjunjung kebaikan dan memendam keburukan-red). Mendoakan arwah agar kita ingat bahwa manusia nantinya pasti akan mati sehingga jiwa dan raga bersih dan siap menjalankan puasa,” kata budayawan Jawa Suwardi Endraswara.
Doa yang dipanjatkan biasanya menggunakan tata cara Islam yang dipimpin beberapa orang. Sementara anak-anak dan orang lain mengamini doa tersebut.
Dalam prosesi nyadran biasanya para peziarah membawa tiga jenis bunga. Bunga kantil, kenanga dan mawar. Setiap bunga memiliki makna tersendiri. Kantil, lanjut Suwardi, agar hati peziarah terkait dengan orang yang sudah meninggal. Kenanga sebagai tanda agar semua kenangan selalu diingat dan terakhir mawar sebagai permohonan agar dosa arwah dihapus.
nyadran
“Membakar kemenyan juga sebuah simbol keagungan. kalau kita membakar menyan kan asapnya itu ke atas jadi sebuah perumpamaan doa kita ke atas sehingga menghubungkan diri ke Tuhan. Simbol perjalanan doa kita supaya bisa diterima,” terangnya.
Selain tiga bunga tadi, biasanya prosesi nyadran diwarnai beberapa makanan sebagai sesajen yakni apem dan ketan. Kedua makanan ini juga memiliki makna tersendiri.
“Ketan itu simbol untuk merekatkan hubungan persaudaraan. Semua orang datang bersama-sama dan merapatkan garis sosial. Sementara apem supaya mereka diampuni. Setelah diampuni dosanya kemudian merekatkan hubungan saudara maka kita akan ingat akan Tuhan,” tutur Suwardi. Acara Nyadran akan berakhir dengan makan bersama, dengan saling menukarkan makanan yang dibawa setiap keluarga.
Suwardi menambahkan tradisi ini biasa dilakukan oleh orang Jawa yang masih puritan atau asli yang masih menganut paham kejawen. “Banyak yang mengatakan tradisi itu bid’ah karena mengaitkan agama Islam dengan paham kejawen. Namun sesungguhnya tradisi itu bermakna lebih mendalam. Sebaiknya kita saling menghormati terhadap orang-orang yang memahami paham kejawen. Itu sebuah tradisi dan kekayaan bangsa. Alangkah indahnya kalau kita saling menghormati tanpa menghakimi,” pintanya.
Padusa
padusan @ obyek mata air cokro
Tradisi yang bermakna pembersihan lahir dan batin seseorang manakala akan datang bulan Ramadhan ini biasa dilakukan oleh masyarakat Klaten, Boyolali, Salatiga, dan Yogyakarta. Padusa ini merupakan ritual berendam atau mandi di sumur-sumur atau mata air yang dianggap “suci”.