Keledai



Keledai seorang petani terperosok kedalam sumur. Binatang malang itu menjerit-jerit dengan suara yang memilukan selama berjam-jam sementara si petani memeras otak untuk menolongnya. Akhirnya ia kehabisan akal dan memutuskan untuk menguburnya saja, karena disamping keledai itu sudah tua, sumur itupun memang layak ditutup.

Ia kemudian meminta para tetangganya untuk membantu. Mereka semua dating dengan membawa sekop dan mulai menyekop tanah, lumpur dan kotoran lalu melemparkannya kedalam sumur.


 Si keledai menyadari apa yang akan menimpa dirinya, ia lalu menjerit-jerit ketakutan. Namun orang-orang yang diatas merasa heran karena tiba-tiba saja keledai itu berhenti menjerit. Beberapa sekop berikutnya si petani melongok ke bawah dan merasa takjub dengan apa yang dilihatnya; setiap kali lumpur dan kotoran jatuh menimpa punggungnya, keledai itu mengibaskan tubuhnya sehingga kotoran itu jatuh ke tanah lalu keledai itu melangkah keatas lumpur dan kotoran itu. Tak lama kemudian si keledai dapat melangkah ke mulut sumur lalu berlari keluar.

***

Kehidupan ini akan menyekop dan melemparkan kotoran kepadamu: semua jenis kotoran. Cara keluar dari sumur kesulitan itu adalah dengan mengibaskan kotoran itu dan melangkah ke atasnya. Setiap kesulitan yang kau hadapi adalah batu lompatan. Kita dapat keluar dari sumur yang paling dalam bukan dengan berhenti berusaha, atau menyerah tetapi dengan cara mengatasi dan mensiasati problem dengan cara melangkah dan berdiri diatasnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

The Frogs

Sekelompok kodok melakukan perjalanan perjalanan menembus hutan. Dua kodook terjerumus kedalam lubang yang dalam. Kodok-kodok yang lain segera berkerumun  disekitar mulut lubang. Mereka mengamati kedalam lubang itu, lalu berteriak kepada kodok yang sial itu bahwa mereka tidak akan pernah bisa selamat. Kedua kodok tidak mengacuhkan pendapat mereka. Mereka berdua mulai melompat-lompat untuk keluar dari lubang.

Kodok-kodok yang diatas terus berteriak memberti tahu mereka berdua agar berhenti berusaha. Kodok yang satu terpengaruh ucapan mereka. Ia jatuh dan mati. Kodok yang lain terus berusaha melompat sekuat  tenaga.

Sekali lagi, kumpulan kodok diatas berteriak kepadanya agar berhenti bersusah payah. Kodok itu justru melompat lebih tinggi sehingga ia berhasil keluar dari lubang dan selamat. Ternyata kodok itu tuli, dan akhirnya dia selamat berkat teriakan teman-temannya. Ia mengira teman-temannya terus menerus memberinya semangat agar berusaha lebih keras.

Dalam cerita ini terkandung dua pelajaran:
  • Ucapan bersemangat kepada seseorang yang sedang putus asa dapat membangkitkan semangat orang itu dan membuatnya mampu menjalani hari-hari sulit.
  • Ucapan destruktif kepada seseorang yang sedang putus asa dapat mematikan langkahnya. Karena itu, berhati-hatilah dengan ucapanmu 
Source: unknown


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Pasir dan Batu




Dikisahkan bahwa ada dua sahabat melakukan perjalanan menyebrangi gurun pasir. Pada suatu tempat, mereka terlibat dalam perdebatan sengit, sahabat yang satu menampar muka sahabat yang lain. Sahabat yang ditampar merasa terluka hatinya. Tanpa mengucapkan sepatah dua patah kata, ia  menulis di atas pasir: HARI INI SAHABAT BAIKKU MENAMPARKU.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Dan dalam perjalanan mereka menemukan danau lalu mandi disitu. Orang yang ditampar tadi tiba-tiba terjebak dalam lumpur hisap dan mulai tenggelam. Sahabatnya dating menolong. Setelah berhasil diselamatkan ia menulis diatas batu: HARI INI SAHABAT BAIKKU TELAH MENYELAMATKAN AKU.

Sahabatnya bertanya, “Tadi kau menulis dipasir, sekarang kau menulis diatas batu, mengapa?”.

“Jika seseorang melukai hati kita, sebaiknya kita menulis kejadian itu diatas pasir agar angin mengampunan dapat  menghapusnya. Namun, bila seseorang berbuat baik terhadap kita, hendaknya kita mengukir peristiwa itu diatas batu sehingga angin takkan pernah dapat menghapusnya”.

Source: unknown.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Racun Paling Mematikan



Dahulu kala dinegeri Cina, seorang gadis bernama Li-li menikah lalu hidup bersama suami dan Ibu mertuanya. Belum lama tinggal dirumah itu, Li-li merasa ia sama sekali tidak akur dengan ibu mertuanya. Ibu mertuanya memiliki watak yang sangat berbeda dengannya, banyak kebiasaannya yang menjengkelkan Li-li, belum lagi ia selalu mencela Li-li.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, Li-li dan mertuanya selalu terlibat dalam perdebatan dan permusuhan. Dan yang membuat keadaan semakin buruk adalah, menurut  tradisi Cina, Li-li harus membungkukan badan kepada ibu mertuanya dan menaati semua kehendaknya. Semua amarah dan ketidakbahagiaan di rumah tangga tersebut membuat suami Li-li menjadi tertekan.

Akhirnya Li-li tidak sanggup lagi menghadapi watak buruk dan sifat diktator sang Ibu Mertua. Ia memutuskan untuk berbuat  sesuatu. Kemudian pergilah ia menemui Tuan Huang, sahabat baik ayahnya, yang pekerjaanya menjual berbagai ramuan tradisional. Ia menceritakan masalah yang dihadapinya dan memohon kiranya boleh meminta racun sehingga ia bisa menyelesaikan semua problem yang dihadapinya.

Tuan Huang berpikir sejenak lalu berkata, “Li-li, aku akan membantumu, tapi kau harus menaati perintahku!”.

“Baik Tuan Huang, aku akan melakukan apa saja perintahmu”,  jawab Li-li.

Tuan Huang pergi ke ruang  belakang beberapa menit, kemudian muncul dengan sebuah bungkusan ditangannya.

“Kau tidak boleh menggunakan racun yang keras untuk Ibu Mertuamu, karena orang-orang nanti akan curiga. Ku beri kau beberapa ramuan yang pelan-pelan akan menimbun racun ditubuhnya. Setiap hari siapkan makanan yang lezat, lalu masukkan sedikit ramuan ini kedalam mangkuknya. Nah, agar tidak membuat  orang lain curiga sepeninggalnya nanti, mulai sekarang kau harus bersikap manis kepadanya. Jangan berdebat lagi dengannya, taati segala perintahnya, dan perlakukakan dia seperti seorang Ratu”, kata Tuan Huang.

Li-li merasa senang dan berterima kasih kepada Tuan Huang. Ia segera kembali ke rumah untuk mulai melaksanakan rencananya. Minggu mulai berganti bulan, waktu terus berjalan dan setiap hari Li-li menghidangkan makanan spesial khusus untuk ibu mertuanya. Ia ingat betul nasihat Tuan Huang untuk tidak bertindak mencurigakan. Ia lalu mengendalikan amarahnya, menaati mertuanya, dan memperlakukannya seperti ibunya sendiri.

Setelah 6 bulan, keadaan rumah tangga mereka berubah. Li-li selalau mengendalikan diri sehingga hampir tidak pernah marah atau jengkel lagi. Ia tidak pernah lagi berdebat, karena ibu mertuanya sekarang tampak lebih ramah dan mudah dilayani.

Sikap sang mertua kepada Li-li pun berubah, ia mulai menyayangi Li-li seperti anak kandungnya sendiri. Ia selalu berkata kepada kerabat dan temannya bahwa Li-li adalah menantunya yang paling baik. Li-li dan mertuanya; satu dengan yang lainnya,  sekarang bersikap seperti anak dan ibu kandungnya. Suami Li-li tentu saja merasa bahagia menyaksikan perubahan ini.

Suatu hari Li-li menemui Tuan Huang dan meminta pertolongan lagi, “Tuan Huang yang saya hormati, tolong bantu aku untuk menyelamatkan mertuaku dari racun itu! Ia telah berubah menjadi wanita yang sangat baik, aku sekarang mencintainya seperti ibu kandungku sendiri. Aku tidak ingin dia mati karena racun yang aku berikan kepadanya”.

Tuan Huang tersenyum dan menganggukan kepalanya, “Li-li, tak ada yang perlu kau khawatirkan. Aku tidak pernah memberimu racun, ramuan yang kuberikan kepadamu adalah vitamin dan obat kuat untuk memperbaiki kesehatan mertuamu. Racun yang sebenarnya tersimpan dalam pikiran dan sikapmu terhadapnya. Namun semua racun itu sekarang telah terkikis habis oleh kasih sayang yang kau berikan kepadanya”.

***

Pernahkah kau sadari bahwa bagaimana engkau memperlakukan orang lain adalah bagaimana oranglain itu juga akan memperlakukanmu?

Ada pepatah Cina yang berbunyi: 

“Orang yang memcintai orang lain akan mendapatkan balasan cinta dari orang itu”.

Source: unknown.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Mangkuk Kayu


Seorang lelaki tua tinggal bersama anak laki-lakinya, menantu dan cucunya yang baru berusia 4 tahun. Tangan lelaki tua itu gemetaran, matanya kabur, dan jalannya tertatih-tatih.

Keluarga ini selalu makan bersama dimeja makan, namun tangan tangan orang tua mereka yang gemetaran membuat makan menjadi pekerjaan yang sulit baginya. Pastei (pei) menggelinding dari sendoknya jatuh ke lantai. Bila ia meraih gelas, susu tumpah membasahi teplak meja. Anak dan menantunya menjadi jengkel karena kotoran yang diakibatkannya.

“Kita harus berbuat sesuatu terhadap ayah”, kata si anak. “Aku sudah tidak bisa sabar lagi melihat tumpahan susu, berisiknya dia mengunyah dan makanan yang jatuh ke lantai”.

Kemudian suami istri itu menyediakan meja kecil dipojok rumah. Di meja ini ayah mereka makan seorang diri. Karena sang ayah juga kerap memecahkan satu atau dua piring, maka makanan dimeja kecil ini disajikan dalam mangkuk yang terbuat dari kayu.

Bila keluarga ini melihat sekilas kearah lelaki tua itu, terkadang tampak matanya berkaca-kaca selagi ia duduk sendiri. Apabila sang kakek menjatuhkan garpu atau menumpahkan makanan, mereka menegurnya dengan keras. Sang cucu yang berumur 4 tahun diam-diam menyaksikan semua kejadian itu.

Suatu petang, sebelum makan malam, sang ayah menyaksikan anaknya bermain-main dengan potongan-potongan kayu dilantai. Dengan manisnya sang ayah bertanya “Apa yang sedang kau buat Nak?”.

Sang anak dengan polosnya menjawab “Oh..aku sedang membuat mangkuk kecil untuk makan Mama dan Papa bila aku besar nanti”.

Anak berumur 4 tahun ini tersenyum manis lalu melanjutkan pekerjaannya.

Kata-kata si anak menampar kedua orangtuanya sehingga tak mampu berkata-kata. Air mata mulai mengalir di pipi mereka. Meskipun keduanya tidak berbicara, tapi mereka tahu apa yang harus dilakukan.

Malam itu juga, sang suami memegang lembut tangan ayahnya lalu membimbingnya ke meja makan keluarga. Sejak hari itu, lelaki tua itu makan lagi bersama keluarganya. Dan suami istri itu tidak pernah lagi memperdulikan garpu yang jatuh, susu yang tumpah dan taplak meja yang kotor.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Paku diatas pagar



Ada sebuah keluarga kecil disuatu daerah, keluarga kecil tersebut terdiri dari sepasang suami istri yang dikaruniai satu anak perempuan yang amat cantik. Namun sayang anak perempuan ini memiliki sifat tempramen yang sangat tinggi, dia mudah sekali meledak dan mengeluarkan kata-kata cacian yang menyakitkan hati orang lain. 

Diam-diam sang Ibu memperhatikan sifat anaknya ini yang amat sulit melawan amarah dan rasa tidak sukanya terhadap seseorang. Ibunya khawatir sifat ini akan terbawa sampai anaknya dewasa. Akhiirnya sang Ibu berinisiatif untuk memberikan pekerjaan kepada anaknya perempuan sematawayangnya ini untuk menancapkan paku dipagar setiap kali dia tidak dapat menahan amarahnya.
Maka dengan mudah anaknya melaksanakan perintahnya tersebut. Dalam sehari  bisa sampai 5-6 paku yang tertancap dipagar tiap kali gadis tersebut marah. Dan semakin hari semakin bertambah jumlahnya.

Namun, hari demi hari jumlah per pakunya mulai berkurang, gadis ini sudah mulai bisa mengendalikan amarahnya. Melihat perubahan ini sang Ibu merubah perintah yang telah dikerjakan rutin oleh anak gadisnya ini. Kali ini Ibunya meminta anaknya untuk mencabut satu paku setiap anaknya berhasil menahan amarahnya.
Hari demi hari pake pake dipagar mulai berkurang seiring amarah sang gadis yang sudah mukai terkendali. Dan pada akhirnya paku-pake dip agar itu pun habis sudah. Meski sudah habis dicabut ada bekas cacat pada pagar tersebut karena dulu saat gadis tersebut marah dia menancapkan paku tersebut dengan amat sangat keras kepada pagar tersebut.  Dan si anak memberitahukannya pada sang Ibu. 

Ketika melihat pagar tersebut sang Ibu bergumam “Begitulah hati orang-orang yang telah kau sakiti, sekalipun kau telah mencabut luka paku dari hatinya, akan selalu ada bekas disana dan tidak mungkin kembali sempurna seperti dahulu kala.”

source: unknown

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments